Thursday, April 11, 2013

Bu Haji Menulis: Medali

Hari ini, hari wisudanya...wisuda santri. Wajahnya sumringah melihat kami datang, tersenyum dari jauh. Dan sesekali menyeka air matanya, pastilah air mata bahagia. Dari jauh saya mengepalkan tangan, sebagai salam kekerabatan kami, semangat nak.

Terbayang 4 tahun silam,  ia menangis, pulang sekolah duduk dengan kaki selonjor dan punggung menyandar di dinding.                 
”Apa saya bisa sekolah ya bu...?” desahnya.    
“Atau saya akan seperti mama saya, mencuci. Bapak saya sudah terbaring sakit berbulan-bulan, tak bisa bekerja..”

Saat itu, saya juga terenyuh dengan keluhannya. Seorang gadis manis, 14 tahun, berseragam putih biru..,biasa kami panggil Nur. Nur anak yang pintar,  bersekolah di salah satu madrasah terbaik di tempat kami. Ibunya seorang kuli mencuci yg dalam sehari berpindah dari pintu ke pintu lain, demi menghidupi keluarganya. Di sisi lain saya optimis, dan menghiburnya.

“Insya Allah, nak .... nanti kita cari donatur untuk mu. Yang penting kamu berdoa dan minta kepada Allah..”

Saya menyemangati. Terpikir oleh saya untuk menemui seseorang , teman sepengajian yang mau membiayai sekolahnya.

Ia anak baik, dalam seminggu Hari Senin dan Kamis, mengaji di rumah saya bersama anak-anak lainnya...dan ia selalu dalam kondisi puasa... luar biasa, bibirnya kering dan wajahnya pucat,selalu seperti itu tampilannya ...


Minggu depannya kejadian yg sama terulang kembali, dengan kaki berselonjor dan punggung disandarkan, mungkin capek pulang dari sekolah, berpanas terik.

Tapi keluhannya ... “Kan udah mau ujian akhir bu, harus bayar spp dobel “, uang ujian nasional ini... itu.. dan sederet panjang jenis pembayarannya sampai uang perpisahan segala, menjadi daftar penutup... tetap dengan wajah pucatnya...
          
Terbayang oleh saya, betapa berat beban pikiran di gadis kecil ini, belum lagi dalam kesehariannya menjumpai ayahnya yang terbaring lemah di rumahnya.
“Kalau pulang sekolah, kami merawat ayah... Berdua bersama adik saya bu.”
Suatu hari ia pernah bercerita. “Soalnya mama belum pulang mencuci,kami memasak untuk ayah dan membersihkan rumah...”

“Doakan ya bu, ayah saya bisa sembuh dan bekerja lagi, agar saya bisa sekolah bu... Tak mau saya seperti mama saya, dari saya kecil ia bekerja seperti itu.. Saya ingin membahagiakan mereka bu...”
Begitu terus... Nur dengan cerita sedihnya .


Tapi buat saya anak ini hebat, prestasi di sekolahnya baik, ia mengaji, belajar, mengerjakan pekrjaan-pekerjaan di rumahnya,  ia merawat ayahnya yang sakit. Tak mampu saya memikirkan deretan panjang pekerjaannya. Dengan sholat yang terjaga dan puasa-puasa sunnahnya. SUBHANALLAH...

Yang mengejutkan, suatu hari ia menyampaikan keinginannya untuk masuk pondok pesantren.
“Kamu serius nak!!” kata saya.
“Ya bu, ingin bisa Bahasa Arab, supaya bisa jadi guru Bahasa Arab .” begitu katanya.
“Guru Bahasa Arab saya di sekolah pinter banget bu...”
“Oh, boleh nak,” Saya kagum akan cita-citanya. 
Tapi terbayang juga kebingungan saya untuk mencarikan pondok yang baik buatnya.

Pernah pula dengan agak berapi-api tapi tetap dengan wajah pucatnya 
“Bu, kalau di pondok,nanti aku belajar Bahasa Arab kemudian Inggris ... bisa kuliah ke luar negri ya bu?”
“Iya nak,InsyaAllah bisa...”jawab saya
“Apa mimpi ya bu? apa bisa ya bu? Aku ingin punya uang yang banyak, bikin sekolah, bikin toko, punya Alfa(menyebut sebuah nama mini market), bekerja keras bu..
“Wah hebat kamu, nak...pasti kamu bisa semangatt!”kata saya menyemangati. Ternyata dia masih lanjut, bibirnya kering dan pecah-pecah... mungkin dia puasa dan tidak sahur, tidak sempat minum yang banyak. Tapi,tak mengurangi semangat nya
“Ya bu semangatt...harus berjuang ya, bu. Supaya bisa bantuin adik-adik yang tidak sekolah, harus sekolah, doain ya bu...”, lanjutnya. Sebelum ia meneruskan pidato heroiknya, saya agak "cut" sedikit.        
“Ayo kita mulai pengajian ...Al-fatihah...,” kata saya,agak iba melihat raut wajah imutnya,dengan jilbab yang tak lagi keluar warna aslinya.
           

Minggu-minggu berikutnya adalah tekad saya harus mencari pondok. Pondok juga bermacam-macam kelasnya .Ternyata  kalau pondok yang bagus, asri dan bersih cukup mahal. Kalau yang biasa-biasa saja agak mengecewakan saya dengan kebersihannya.

Saya takut tidak sesuai harapannya. Ada juga penawaran gratis tis, dengan pengabdian. 
“Anak ibu belajar sama seperti lainnya, tapi ia punya tugas-tugas khusus di pondok,  seperti membantu di dapur,  bangun tahajjud lebih awal, memasak air untuk santri-santri sepondok, membantu kebersihan... dan...dan...”  
Wah,  pusing kepala saya.  Anak saya ini sudah cukup berat dengan beban-beban  selama di rumahnya.  Proposal itu saya tolak mentah-mentah.

“Bu,bu... Nur dipanggil ke panggung"
Bahu saya ditepuk ibunya Nur. Ternyata wisudawan telah naik ke panggung satu per satu. Sekarang, giliran seorang gadis cantik naik ke panggung, tidak pucat...begitu anggun. Ia membungkuk takzim. Bersalaman dengan ustadzahnya. K
ami berlinang air mata menyaksikannya.

Dan sebuah medali dikalungkan, medali perjuangan...

                        

No comments:

Post a Comment