Suatu siang, saya agak bertengkar… dengan monik, seorang
santri as sakinah. Ia telah lulus SMA, sebentar lagi akan memasuki bangku
perkuliahan.
“Kita harus beli-beli, nak.” Bahasa
saya awalnya begitu. “Kamu butuh baju kuliah, sepatu, jilbab, dan lain-lain,
juga pikirkan alat-alat di kos an.”, kata saya meneruskan.
Ia menganguk-angguk.. “Iya
buk…iya buk..” patuh.
“Oh ya... tas juga. Mon, kita
cari tas yang murah meriah.. tapi bagus, dan pantes untuk kamu pakai kuliah .”
“Hahh, tas Buk ..,?? Nggak
usah, masih ada kok. Saya pakai tas yang lama ia bersikeras lagi…masih bisa
dipakai.
Monik memang agak “heroik”
anaknya, anak wanita 17 tahunan, tapi sukanya main bola tendang sama adiknya.
Kesehariannya selalu dengan jilbab simpel, kaos dan jins dengan warna yang tak
jauh beda, abu-abu, hitam, sesekali putih.
Saya sering komentar, anak cewek
harusnya suka pink, kuning, merah, atau apalah… yang penting cerah-cerah. Tapi
dia cepat menjawab “terlalu genit Buk!” selalu begitu, atau sesekali memancing
reaksi saya “gak sholehah, bu..”
Dan
dia tahu pasti saya akan ceramah panjang, kalo “sholehah” di bawa-bawa,
he.he..he..,kami memang akrab, tapi suka juga tengkar.
“Kita harus beli tas”, kata
saya
“Mana mungkin tas backpackmu
itu buat kuliah.” Seingat saya warnanya, biru tua campur keabu-abuan tapi
nyaris hitam, sudah gak jelas juga batas ketiga warnanya kalo saya gak pake
kaca mata plus saya. Tapi saya cuma membatin, khawatir dia tersinggung....
Anak ini memang suka sensitif,
saya terkadang agak hati-hati. Kalau pakai “kekerasan” malah mutung, tapi kalau
dibiarkan akan memalukan, pikir saya. Terkadang saya memaklumi, Monik sudah
tidak bersama ibunya sedari ia masih bocah kecil.
“Ada persoalan antara ayah ibu
ku, Buk” Pernah suatu kali ia bercerita, agak berlinang matanya. Ah, si gadis
tomboy bisa juga bersedih.
“Tapi itu urusan mereka nak,
kamu urus saja sekolahmu, be happy lah ...for your future, good future..” Saya
menghiburnya.
“Harus ..? Buk.. beli tas.,?
Ia membuyarkan lamunan saya.
“Iya harus", kata saya. ‘’Kamu
turutin ibu, kita harus beli tas.” Saya mengulangi.
“Mungkin bisa buat keperluan
lain, yang lebih penting..”masih membantah.
“Uang kos, atau piring,
gelas, apalah... itu buk,” dengan gaya
santainya.
“Sekarang kamu yang ikut ibu,
minggu lalu, sandal wisuda, ibu yang ikutiin kemauan kamu, sekarang kamu yang
ikut saya, gantian!” suara saya agak tegas.
“Iyaaah, Ibuk ..,” panjang
helaan nafasnya.
Saya jadi ingat minggu lalu, sandal menjadi topik yang hangat. Kami berdua ke pasar mayestik, dengan
niat mencari sandal wisudanya karena ia akan berkebaya. Sudah puter-puter 4
toko belum ada yang cocok........ ini terlalu feminim buk, hak nya tinggi, buk.
Ada pitanya buk, bertali buk..,dll alasan penolakan semua pilihan yang saya ajukan. Akhirnya saya
menyerah, terserah kamu, Mon.” Daripada ia tidak nyaman dengan pilihan saya.
Pilihannya jatuh pada sebuah
sandal hitam polos sangat simple, Alhamdulillah juga ada nomor sesuai kakinya.
“Sebenarnya…sebenarnya…” Saya
menangkap suara agak tersendat, perlahan tapi jelas.
“Saya gak pengen ganti tas,
Buk… tas saya masih bisa dipake," agak terisak ia.
‘’Lho, betul nak..tapi
tidak untuk kuliah. Mungkin kamu butuh tas yang lebih besar, untuk buku-bukumu.
Yang murah-murah koq, asal baru.. masa tas mu yang jadul itu juga yang akan
kamu bawa kuliah,’’ Otoriter saya keluar. Tapi, sungguh saya baru ‘ngeh’ kalo tas itu ada di pundak nya. Selalu setia
bertengger disitu.
“Tas ini dari ibu saya
buk.”
“Dari saya kelas 1 SD”,
katanya perlahan sambil menunjukkan kepada saya, dengan hati-hati dipindahkan
dari balik punggungnya...
Diam saya mengamati.
Mungkin obat kangennya
pada ibunya .
Saya terharu, karena tas jadul itu sudah
robek, dijahit kasar dengan benang putih,jahitan ala monik... jelas di mata
saya...
Membuat saya tercekat.
No comments:
Post a Comment