Hari ini, hari wisudanya...wisuda santri. Wajahnya
sumringah melihat kami datang, tersenyum dari jauh. Dan sesekali menyeka air matanya,
pastilah air mata bahagia. Dari jauh saya mengepalkan tangan, sebagai salam
kekerabatan kami, semangat nak.
Terbayang 4 tahun silam, ia menangis, pulang sekolah duduk dengan kaki
selonjor dan punggung menyandar di dinding.
”Apa saya bisa sekolah ya bu...?” desahnya.
“Atau saya
akan seperti mama saya, mencuci. Bapak saya sudah terbaring sakit
berbulan-bulan, tak bisa bekerja..”
Saat itu, saya juga terenyuh
dengan keluhannya. Seorang gadis manis, 14 tahun, berseragam
putih biru..,biasa kami panggil Nur. Nur anak yang pintar, bersekolah di salah satu madrasah terbaik di
tempat kami. Ibunya seorang kuli mencuci yg dalam sehari berpindah dari pintu
ke pintu lain, demi menghidupi keluarganya. Di sisi lain saya optimis, dan
menghiburnya.
“Insya Allah, nak .... nanti
kita cari donatur untuk mu. Yang penting kamu berdoa dan minta kepada Allah..”
Saya menyemangati. Terpikir
oleh saya untuk menemui seseorang , teman sepengajian yang mau membiayai
sekolahnya.
Ia anak baik, dalam seminggu
Hari Senin dan Kamis, mengaji di rumah saya bersama anak-anak lainnya...dan ia
selalu dalam kondisi puasa... luar biasa, bibirnya kering dan wajahnya pucat,selalu
seperti itu tampilannya ...
Minggu depannya kejadian yg
sama terulang kembali, dengan kaki berselonjor dan punggung disandarkan,
mungkin capek pulang dari sekolah, berpanas terik.
Tapi keluhannya ... “Kan udah
mau ujian akhir bu, harus bayar spp dobel “, uang ujian nasional ini... itu..
dan sederet panjang jenis pembayarannya sampai uang perpisahan segala, menjadi
daftar penutup... tetap dengan wajah pucatnya...
Terbayang oleh saya, betapa
berat beban pikiran di gadis kecil ini, belum lagi dalam kesehariannya
menjumpai ayahnya yang terbaring lemah di rumahnya.
“Kalau pulang sekolah, kami merawat
ayah... Berdua bersama
adik saya bu.”
Suatu hari ia pernah
bercerita. “Soalnya mama belum pulang mencuci,kami memasak untuk ayah dan
membersihkan rumah...”
“Doakan ya bu, ayah saya bisa
sembuh dan bekerja lagi, agar saya bisa sekolah bu... Tak mau saya seperti mama
saya, dari saya kecil ia bekerja seperti itu.. Saya ingin membahagiakan
mereka bu...”
Begitu terus... Nur dengan
cerita sedihnya .
Tapi buat saya anak ini hebat,
prestasi di sekolahnya baik, ia mengaji, belajar, mengerjakan pekrjaan-pekerjaan
di rumahnya, ia merawat ayahnya yang
sakit. Tak mampu saya memikirkan deretan panjang pekerjaannya. Dengan
sholat yang terjaga dan puasa-puasa sunnahnya. SUBHANALLAH...
Yang mengejutkan, suatu hari
ia menyampaikan keinginannya untuk masuk pondok pesantren.
“Kamu serius nak!!” kata saya.
“Ya bu, ingin bisa Bahasa Arab,
supaya bisa jadi guru Bahasa Arab .” begitu katanya.
“Guru Bahasa Arab saya di
sekolah pinter banget bu...”
“Oh, boleh nak,” Saya kagum
akan cita-citanya.
Tapi terbayang juga
kebingungan saya untuk mencarikan pondok yang baik buatnya.
Pernah pula dengan agak
berapi-api tapi tetap dengan wajah pucatnya
“Bu, kalau di pondok,nanti aku
belajar Bahasa Arab kemudian Inggris ... bisa kuliah ke luar negri ya bu?”
“Iya nak,InsyaAllah
bisa...”jawab saya
“Apa mimpi ya bu? apa bisa
ya bu? Aku ingin punya uang yang banyak, bikin sekolah, bikin toko, punya Alfa(menyebut
sebuah nama mini market), bekerja keras bu..
“Wah hebat kamu, nak...pasti
kamu bisa semangatt!”kata saya menyemangati. Ternyata dia masih lanjut, bibirnya
kering dan pecah-pecah... mungkin dia puasa dan tidak sahur, tidak sempat minum
yang banyak. Tapi,tak mengurangi semangat nya
“Ya bu semangatt...harus
berjuang ya, bu. Supaya bisa bantuin adik-adik yang tidak sekolah, harus
sekolah, doain ya bu...”, lanjutnya. Sebelum ia meneruskan pidato heroiknya,
saya agak "cut" sedikit.
“Ayo kita mulai
pengajian ...Al-fatihah...,” kata saya,agak iba melihat raut wajah
imutnya,dengan jilbab yang tak lagi keluar warna aslinya.
Minggu-minggu berikutnya adalah
tekad saya harus mencari pondok. Pondok juga bermacam-macam kelasnya .Ternyata kalau pondok yang bagus, asri dan bersih
cukup mahal. Kalau yang biasa-biasa saja agak mengecewakan saya dengan
kebersihannya.
Saya takut tidak sesuai harapannya. Ada juga penawaran gratis tis, dengan
pengabdian.
“Anak ibu belajar sama seperti lainnya, tapi ia punya tugas-tugas
khusus di pondok, seperti membantu di
dapur, bangun tahajjud lebih awal, memasak
air untuk santri-santri sepondok, membantu kebersihan... dan...dan...”
Wah, pusing kepala saya. Anak saya ini sudah cukup berat dengan beban-beban
selama di rumahnya. Proposal itu saya tolak mentah-mentah.
“Bu,bu... Nur dipanggil ke
panggung"
Bahu saya ditepuk ibunya Nur. Ternyata wisudawan telah naik ke panggung satu per satu. Sekarang, giliran seorang gadis cantik naik ke panggung, tidak pucat...begitu anggun. Ia membungkuk takzim. Bersalaman dengan ustadzahnya. Kami berlinang air mata menyaksikannya.
Bahu saya ditepuk ibunya Nur. Ternyata wisudawan telah naik ke panggung satu per satu. Sekarang, giliran seorang gadis cantik naik ke panggung, tidak pucat...begitu anggun. Ia membungkuk takzim. Bersalaman dengan ustadzahnya. Kami berlinang air mata menyaksikannya.
Dan
sebuah medali dikalungkan, medali perjuangan...
No comments:
Post a Comment